Senin, 31 Maret 2008

Kaidah

Ilmu, Amal, Dakwah dan Sabar

31 Maret 2008 l Disadur dari buletin At-Tauhid, Redaksi Divisi Dakwah Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari


Pembaca yang budiman, kewajiban sebagai seorang muslim terhadap agamanya adalah mengilmui mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar di dalamnya. Tanpa adanya keempat perkara ini, agama kita tidak akan tegak pada diri kita. Seorang yang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkannya dan mendakwahkannya seperti kaum Yahudi yang tidak mau mengamalkan ilmunya. Begitu pula, tidak mungkin bagi sesorang untuk mendakwahkan agamanya kecuali dibangun atas pondasi ilmu yang kokoh sebagaimana dakwah Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti beliau yang diabadikan dalam Al Qur’an, "Katakanlah inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak pada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Alloh dan aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik" (Yusuf : 108).

Penetapan kewajiban berilmu, beramal, berdakwah dan bersabar

Alloh berfirman yang artinya, "Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran" (Al Ashri : 1-3)

Imam Syafi'i mengatakan ‘Seandainya Alloh tidak menurunkan hujjah bagi makhluknya kecuali surat ini saja niscaya itu sudah mencukupi’. Syarat pertama manusia yang tidak merugi adalah mereka yang beriman. Sedangkan iman yang benar tidak akan dicapai kecuali dilandasi ilmu yang benar. Sehingga wajib bagi setiap orang untuk memiliki ilmu. Syarat kedua adalah beramal shalih. Amal shalih mencakup seluruh amal kebajikan, baik berupa amalan lahiriah seperti sholat maupun amalan batin seperti tawakkal, baik berupa perbuatan yang berkaitan dengan penunaian hak Alloh maupun hak para hamba-Nya yang wajib maupun yang sunnah. Syarat ketiga adalah saling menasihati dalam kebenaran, yaitu mengajak dan memberikan semangat dalam keimanan dan berbuat amal shalih. Syarat keempat adalah saling menasihati dalam kesabaran.

Ilmu dulu.... baru yang lain ….

Berilmu adalah kewajiban pertama kita sebelum melakukan segala sesuatu. Kita bisa membayangkan bagaimana kerusakan yang akan ditimbulkan oleh seorang yang tidak bisa mengendarai mobil yang nekad untuk mengendarainya. Maka jiwanya dan jiwa orang-orang yang ada dalam kendaraan tersebut bisa terancam. Maka dalam perkara agama, kerusakan yang ditimbulkan bukan sekedar mobil yang lecet, badan yang luka atau tewasnya satu-dua orang. Kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan yang tidak dilandasi oleh ilmu diin, bahkan dapat mengakibatkan kebinasaan ummat manusia. Tidakkah kita melihat bagaimana Alloh ta'ala menghancurkan ummat-ummat terdahulu karena perbuatan syirik yang mereka lakukan. Sedangkan kesyirikan adalah kebodohan yang paling besar.

Imam Bukhori rohimahulloh membuat suatu bab dalam kitab shahihnya yaitu "Bab Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan". Beliau berdalil dengan firman Alloh ta'ala, "Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Alloh dan mohon ampunlah atas dosa-dosamu" (Muhammad : 19). Alloh memulai ayat ini dengan perintah untuk berilmu terlebih dahulu sebelum kita mengatakan kalimat tauhid dan memohon ampun pada Alloh ta'ala. Hal ini dapat difahami bahwasanya perkataan dan amal shalih kita yang tidak sesuai dengan syari'at Islam tidak mungkin diterima oleh Alloh ta'ala. Dan seseorang tidak mungkin mengetahui apakah amal perbuatannya sesuai dengan syariat atau tidak kecuali dengan ilmu.

Amal sebagai konsekwensi ilmu.

Ketika kita telah mengetahui pentingnya ilmu, maka sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu tersebut adalah beramal. Kita bisa bayangkan jika ada seorang yang sudah menguasai teori berlalu-lintas, menguasai teori dan trik-trik mengendarai kendaraan agar cepat dan selamat namun dia tidak mau mengendarai kendaraan tersebut. Apakah teori tersebut bermanfaat bagi dirinya? Begitupula ilmu agama yang telah kita pelajari tanpa kita amalkan maka tidak akan bermanfaat bagi kita karena Alloh akan menghisab tentang apa yang kita amalkan disamping apa yang kita ketahui. Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu maka ia telah menyerupai kaum Nasrani dan barangsiapa yang berilmu tanpa mengamalkannya maka ia telah menyerupai kaum Yahudi.

Kiranya cukup bagi kita peringatan yang disampaikan oleh Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya. "Didatangkan seseorang pada hari kiamat kemudian dia dilemparkan ke neraka sehingga terurai ususnya dan dia berputar sebagaimana kedelai berputar pada penggilingan. Kemudian berkumpullah para penghuni neraka disekelilingnya dan berkata, “Wahai fulan, apa yang menimpamu? Bukankah kamu dulu menyuruh kamu untuk berbuat baik dan mencegah kami dari kemungkaran?” Kemudian orang tersebut berkata, “Dahulu aku menyuruh beruat kebaikan tapi aku tidak melakukannya dan aku mencegah perbuatan munkar namun namun aku melakukannya" (HR Bukhori dan Muslim dari Usamah din Zaid).

Dakwah Ilalloh untuk memperbaiki ummat

Pembaca yang budiman, kewajiban kita setelah berilmu dan beramal adalah mendakwahi manusia agar kembali ke jalan Alloh ta'ala. Dengan ilmu dan amal shalih kita menyempurnakan diri kita sedangkan dengan dakwah terwujudlah perbaikan di tengah-tengah ummat. Maka dengan ketiga hal ini selamatlah seseorang dari kerugian sebagaimana yang dijanjikan oleh Alloh ta'ala.

Dakwah ilalloh harus dilandasi keikhlashan hanya mengharapkan wajah Alloh ta'ala, bukan untuk kepentingan pribadi, golongan, partai apalagi berdakwah hanya sekedar untuk sukses meraih kursi pemerintahan wal'iyadzubillah. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, "Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (An Nahl : 125).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin menyebutkan bahwa ilmu dan bashirah yang dibutuhkan dalam dakwah adalah pengetahuan tentang hukum syar'i, pengetahuan tentang cara berdakwah dan pengetahuan tentang keadaan obyek dakwah.

Marilah kita lihat bagaimana metode Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam dalam memerintahkan para shahabatnya untuk menjadikan tauhid sebagai prioritas utama dalam dakwah ketika mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda, "Maka hendaklah hal pertama yang kamu sampaikan pada mereka adalah syahadat Laa ilaha Illallah (dalam riwayat lain, supaya mereka mentauhidkan Alloh)". (HR Bukhori dan Muslim)

Sabar, kunci akhir kebahagiaan…

Setelah kita mengetahui tiga kunci kebahagiaan berupa kewajiban berilmu, beramal dan berdakwah, maka kunci terakhir adalah kesabaran dalam menjalankan ketiga hal tadi. Alloh ta'ala menggambarkan kesabaran utusan-Nya dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya telah didustakan rosul-rosul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Alloh kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat Alloh. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rosul-rosul itu." (Al An'aam : 34)

Sabar ada tiga keadaan. Pertama sabar dalam menjalankan ketaatan pada Alloh ta'ala, kedua sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Alloh dan ketiga sabar terhadap takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Pembaca yang budiman, demikianlah empat kunci kebahagiaan yang dapat menyelamatkan kita dari kerugian dunia dan akhirat, yaitu ilmu, amal shalih, dakwah dan sabar. Semoga Alloh subhanahu wa ta'ala menjadikan kita hamba yang senantiasa bersemangat untuk menuntut ilmu agama, memudahkan kita untuk mengamalkan apa yang telah kita ilmui, memberikan kita semangat untuk mendakwahkan kebenaran, dan menjaga kita untuk senantiasa ikhlash dalam berbuat dan senantiasa menjadi hamba yang bersabar. Amiin yaa mujibba saailin… (Amrullah Abu Fatah Al Bakasy).

Tidak ada komentar: